VATICAN CITY (RNS) — Menyikapi dunia yang dihadapkan pada konsumerisme, perpecahan dan kecerdasan buatan, Paus Fransiskus mendesak umat beriman untuk “kembali ke hati” dalam ensiklik barunya, “Dilexit Nos” (“Dia Mencintai Kita”), yang diterbitkan pada Kamis ( 24 Oktober).
“Singkatnya, jika cinta berkuasa di hati kita, kita menjadi, secara utuh dan bercahaya, menjadi pribadi yang kita inginkan, karena setiap manusia diciptakan terutama demi cinta. Dalam diri kita yang terdalam, kita diciptakan untuk mencintai dan dicintai,” tulis Paus.
Ini adalah ensiklik keempat yang ditulis Paus Fransiskus, setelah “Lumen Fidei,” yang ditulis bersama pendahulunya Paus Benediktus XVI; yang disebut ensiklik hijau, “Laudato Si'”; dan “Fratelli Tutti.” Paus mengumumkan dokumen baru tersebut pada bulan Juni, bulan yang secara tradisional didedikasikan untuk Hati Kudus Yesus.
Publikasi dokumen baru ini hadir pada tahun 350th tahun peringatan penglihatan pertama Hati Kudus Yesus oleh St. Margaret Mary Alacoque pada tahun 1673. Selama 17 tahun, biarawati Perancis ini mendapat penglihatan tentang hati yang berapi-api dikelilingi duri, yang dimaksudkan untuk menandakan penderitaan Kristus yang berkelanjutan karena dosa dan kurangnya iman.
Ensiklik tersebut, dibagi menjadi lima bab, mengacu pada refleksi masa lalu tentang Hati Kudus Yesus yang dilakukan oleh para santo dan Paus Katolik yang mendesak pertobatan semua umat beriman dan Paus berharap dapat menyembuhkan dunia yang penuh kekerasan dan penderitaan. Di beberapa bagian dokumen, Paus Fransiskus berbicara langsung kepada pembaca.
Monsignor Bruno Forte berbicara pada konferensi pers untuk presentasi ensiklik Paus Fransiskus berjudul “Dilexit Nos,” bahasa Latin untuk “Dia Mencintai Kita,” di Vatikan, 24 Oktober 2024. (AP Photo/Alessandra Tarantino)
“Pesan Paus kepada gereja dan seluruh umat manusia, bukan hanya terfokus pada aspek sosial, seperti yang kadang-kadang digambarkan secara kikuk, lahir dari satu sumber, yang secara eksplisit disajikan di sini: Kristus Tuhan dan kasih-Nya kepada seluruh umat manusia,” kata Uskup Agung Bruno Forte, seorang teolog, yang mempresentasikan dokumen tersebut di Vatikan pada hari Kamis.
Forte mengatakan ensiklik ini harus dianggap sebagai sintesis dari segala sesuatu yang telah coba dijelaskan dan dicapai oleh Paus dalam tulisan dan tindakannya sebelumnya.
Bab pertama, “Pentingnya Hati,” mengatakan bahwa perasaan manusia telah dikesampingkan sepanjang sejarah demi “akal budi, kemauan atau kebebasan.” Masyarakat teknokratis saat ini, tulis Paus, lebih mengutamakan pikiran daripada hati dan berisiko mengubah masyarakat menjadi “konsumen yang tak pernah puas dan menjadi budak mekanisme pasar.”
Hal ini dapat dilihat dalam peperangan dan konflik yang terjadi di dunia saat ini, tambahnya, di mana beberapa orang “mungkin tergoda untuk menyimpulkan bahwa dunia kita sudah kehilangan semangatnya.” Paus Fransiskus menggambarkan penderitaan para ibu yang kehilangan anak-anak mereka akibat perang sebagai “tanda dunia yang semakin tidak berperasaan.”
“Di era kecerdasan buatan ini, kita tidak bisa melupakan bahwa puisi dan cinta diperlukan untuk menyelamatkan umat manusia,” tulis Paus Fransiskus. Berbeda dengan pikiran dan kemauan, lanjutnya, hati tidak mudah terombang-ambing atau dimanipulasi.
“Dunia bisa berubah dimulai dari hati,” tulis Paus Fransiskus.
Salinan ensiklik Paus Fransiskus berjudul “Dilexit Nos,” bahasa Latin yang berarti “Dia Mencintai Kita,” diperlihatkan setelah konferensi pers untuk presentasinya di Vatikan, 24 Oktober 2024. (AP Photo/Alessandra Tarantino)
Pada bab kedua, Paus memaparkan contoh-contoh Yesus yang menunjukkan “kedekatan, kasih sayang, dan kasih yang lembut” terutama terhadap orang-orang yang terbuang dalam masyarakat, termasuk pemungut pajak, pelacur, dan orang cacat. “Dia mendorong kita untuk mengatasi ketakutan kita dan menyadari bahwa, dengan dia di sisi kita, kita tidak akan rugi apa-apa,” tulisnya.
Paus Fransiskus menyoroti ajaran sebelumnya, dengan mengatakan bahwa orang percaya tidak dipaksa untuk menghormati gambar formal Hati Kudus Yesus, yang biasanya menggambarkan Kristus memegang hati yang berapi-api yang tertusuk duri dan memikul salib. Umat Katolik juga tidak dipaksa untuk memercayai penglihatan para santo, meskipun “penglihatan tersebut merupakan sumber dorongan yang kaya dan terbukti sangat bermanfaat,” kata ensiklik tersebut.
Bab ketiga berfokus pada bagaimana Hati Kudus dapat memperbaharui spiritualitas, khususnya di kalangan para pendeta yang “terlalu terjebak dalam aktivitas eksternal, reformasi struktural yang tidak ada hubungannya dengan Injil, rencana reorganisasi yang obsesif, proyek-proyek duniawi, cara berpikir sekuler dan program wajib.”
Pada bab berikutnya, Paus Fransiskus menampilkan contoh-contoh spiritualitas Katolik, yang banyak di antaranya melibatkan perempuan, yang berfokus pada Hati Kudus dan luka ketika Yesus tertusuk tombak pada saat penyalibannya. Mengutip tulisan St. Thérèse dari Lisieux, Paus merenungkan kemungkinan menerima pengampunan terlepas dari dosa-dosa seseorang dan mengkritik “para pemoral yang ingin terus mengekang belas kasihan Tuhan.”
Bab terakhir ensiklik tersebut, “Cinta untuk Cinta,” menampilkan semangat kemanusiaan dan misioner yang dapat diperoleh dari devosi kepada Hati Kudus dan menjelaskan cita-cita reparasi umat Kristiani. “Dalam persatuan dengan Kristus, di tengah reruntuhan yang kita tinggalkan di dunia ini karena dosa-dosa kita, kita dipanggil untuk membangun peradaban cinta yang baru,” tulis Paus Fransiskus.
Paus mengusulkan sebuah transformasi, dengan umat beriman memperbaiki hati dan dosa mereka sendiri dan belajar bagaimana memperbaiki hati dan dosa orang lain, dan dia mendesak para misionaris untuk “merasa terikat untuk membagikan kasih yang telah mengubah hidup mereka.”
“Dilexit Nos” mengikuti tulisan Paus sebelumnya yang bertujuan memperkuat kerangka Katolik untuk membangun dunia yang lebih baik, yang ditandai dengan persaudaraan, dialog dan rasa hormat. Dengan bahasa pastoral dan puitis, Paus berusia 87 tahun itu menuliskan seruan untuk membangun generasi baru umat beriman yang mampu mengatasi godaan masyarakat modern dan teknologi serta berbicara dari hati.
“Kita terus-menerus didorong untuk terus membeli, mengonsumsi, dan mengalihkan perhatian kita, terjebak dalam sistem yang merendahkan yang menghalangi kita untuk melihat lebih dari sekedar kebutuhan mendesak dan kecil,” tulis Paus Fransiskus. “Kasih Kristus tidak mempunyai tempat dalam mekanisme yang menyimpang ini, namun hanya kasih itulah yang dapat membebaskan kita dari pengejaran gila yang tidak lagi memberikan ruang bagi kasih yang sia-sia.”
